Monthly Archives: October 2012

Aku ingin menyentuh awan, lalu melayang melaluinya
Tidak tahu diri, bahwa aku hanya seorang manusia
Aku ingin pergi ke angkasa, ke ruang hampa
Sekedar bunuh diri, seiring asa sirna

Aku ini hanya manusia tak tahu diri
Berani-beraninya berangan seperti bintang
Benderang, tapi sulit digapai
Atau hanyalah sulit menggapai?

Aku ingin terbang..
Bebas, sebuah ironi di awang-awang
Tak sadar bumi, akhirnya jatuh terkapar
Lalu mati rasa

Aku ingin waktuku lebih lama
Menikmati horizon yang memukau, yang menenangkan hati
Pikiran dan jiwa

Untuk kamu..kamu yang berwajah bocah seperti saya. Saya cuma bisa mengatakan “I know that feel..” Dan untuk kamu..kamu yang berwajah sesuai dengan umurnya *alahmaksa* beruntunglah kalian, sesungguhnya kalian harus bersyukur (?)

Oke, disini saya cuma mau share aja tentang pengalaman memalukan yang terus terjadi di hidup saya.

Sejarahnya gini. Pada awal smp, wajah saya sama saja seperti yang lain, “sesuai dengan umurnya”. Lalu setelah kelas 8, wajah saya ga rubah-rubah, bahkan disangkain anak kelas 7 terus. Oke, itu masih bisa dimaafin.

Trus, setelah kelas 9, ternyata ini mulai ga beres. Saya masih terus disangkain anak kelas 7, sama orang-orang. Tapi ini bukan yang paling jleb. Masih ada yang lebih parah

Dan setelah menginjakan kaki ke jenjang sma, saya mulai senang. Karena seragam putih abu itu bisa mencirikan, kalo saya ga childish lagi. Tapi itu lapur semua, men. Pas lagi kumpul sama keluarga besar, saya ditanya “Waah.. Ade smp mana?” oke, dan itu tuh JLEB.
Sampe pas waktu itu lagi jalan-jalan di mal(pake baju bebas), masa gue dikasih brosur les buat anak SMP?! Kali ini agen brosur itu emang gabisa dimaapin -.-

Dan sekarang, menginjak kelas 11. Ga bisa dipungkiri, kalo masih ada aja yang ngira saya ini kelas 10. Tapi seengganya masih mending, daripada waktu ketemu mang-mang burger di kolam renang beberapa minggu lalu.
X: “De, smp atau sma?”
S: “sma maang, hehe” *benget innocent*
X: “Dikirain anak smp de”
S: *benget pengen nabok*
X: “kelas 1 ya?”
S: “kelas 2 mang, hehe” *masih benget pengen nabok
X: “ooh, gitu ya”
S: *ngomong dalem hati ‘masih untung burgernya gue bayar’*

ya, sekian, dan terimakasih.

Kadang hidup itu kaya balon pecah. Ngagetin, ngeselin. Semuanya susah buat bisa ditebak, kaya di tikungan jalan. Kita gatau hal apa yang ada di balik tikungan itu. Kadang, ada yang berani maju untuk melangkah ke tikungan itu, ada juga yang diam di tempat. Takut, kalo terjadi tabrakan.

Well, i think it is life. Life has own riddle it self. Nobody knows. For exception, God it is.

Hidup juga kaya gelombang transversal. Fluktuatif, dan dinamis. Waktu yang ngatur kecepatannya. Dan waktu bisa kerasa bentar, bisa juga kerasa lama. Tergantung, apakah kita menunggu, atau tidak. Kalo kita terus menunggu, hal yang kita cari ga akan kita dapetin. Karena ini bukan dunia dongeng.

Karena hidup itu realita.

–setelah adzan subuh berkumandang, di tengah dinginnya pagi buta–

White Grey (Part 3)

.Rian.
Orangtua gue berantem lagi. Dan gue semakin gak betah untuk tinggal di rumah. Gue suka jadi tengsin sendiri kalo ngedengerin bentakan atau sentakan mereka yang gue gak suka itu. Kenapa sih harus berantem? Cuma masalah kecil kenapa sampai diributin?
Bete.
Gue menghembuskan napas keras. Jalanan masih macet, dan gue gak tau harus pergi kemana. Intinya, gue pengin pergi ke suatu tempat dan bisa lupain masalah di rumah. Gue tau, gue emang salah. Gue lari dari masalah, iya kan?
Setelah gue luntang-lantung ke sana-sini, mobil gue berhenti di lapang softball favorit Fedro, Ari, dan Fia. Pas gue liat papan jadwal pertandingan, ternyata pertandingan telah selesai. Padahal gue harap gue bisa nonton pertandingan itu.
Walaupun para penonton udah keluar dari tribun, gue justru malah duduk di sana dan mandangin lapangan yang kosong. Sekosong hati gue saat ini. Tiba-tiba ada suara perempuan dari belakang gue, bicara dengan nada sopan di sengajakan.
“Pertandingannya udah selesai Mas. Sebaiknya Mas pulang saja dan menonton pertandingan selanjutnya besok.”
Pas gue balik badan, ternyata cewek itu adalah Fia. Kenapa bisa? “Lo? Kok ada di sini?” tanya gue spontan. Fia terkekeh lalu menjawab “Ini tempat umum kan? Masa’ gue gak boleh ke sini?”, gue geleng-geleng kepala sambil senyum ngeliat sifat cengos Fia yang gak berubah, masih seperti itu.
“Rian,”
“Mm?”
“Lo lagi ada masalah ya?”
JLEB. Apakah muka gue keliatan galau banget sampe Fia yang baru dateng aja bisa nyangka kayak gitu?
“Pasti..orangtua lo berantem lagi ya?” tanya Fia lagi dengan nada hati-hati. Gue pura-pura ketawa untuk mencairkan suasana, “Sok tau ah, Fi.” Sementara Fia menggeleng sambil nepuk pundak gue dan duduk di samping gue. “Lo kayak baru kenal gue sehari aja, Yan. Udahlah.. Lo jujur aja. Gue ini kan temen lo juga.” Kata Fia dengan sewot walaupun gue tau ada ke-khawatiran di sana.
“Iya deh, sori Fi. Apa yang lo duga tadi, bener kok.”
Fia mengacak-acak rambut gue seperti biasanya. Dari dulu itu memang hobinya setiap ketemu sama gue. “Yaudah, Yan. Kasih waktu orangtua lo ngerenung dulu, mungkin mereka bisa baikan. Iya, kan?”
Gue ngangguk lemah, ada perasaan lega setelah Fia ngomong gitu. “Nah! Daripada ngegalau kayak ikan badut gitu, kita main softball yuk. Gimana?” tawar Fia sambil tersenyum. Sementara gue heran.
“’Ngegalau kayak ikan badut’?? Lo pikir muka gue apaan di sama-samain kayak ikan badut?”
Fia ketawa. Kalo ngetawain gue pasti dia jagonya. Tapi, itu juga buat gue ketawa akhirnya.
“Tuh kan.. Lo bisa ketawa lagi.” Gumam Fia di sela tawanya sambil mandangin gue, tersenyum.
Gue nahan ketawa sebentar. Ada yang aneh di dada gue. Kok kerasanya beda ya? Serasa sesek. Atau mungkin gue… deg-degan?? Konyol. Gak mungkin, gak mungkin.
“Eh, malah bengong lagi. Ayo dong.. Katanya mau main softball?” Tiba-tiba Fia udah ada di tangga menuju ke lapang dengan bat dan gloves yang udah ada di tangannya.
Gue pun nyamperin Fia dan nurunin tangga bareng. “Emangnya, muka gue keliatan kaya ikan badut beneran ya tadi?” tanya gue polos. Fia ketawa lagi, tapi kali ini tidak terbahak. “Ya enggaklah, dodol. Gue cuma ngehibur lo aja tadi.”
Oooh…
Dan sesuatu yang aneh di dada gue itu, kerasa lagi.
***
.Giovanni.
Selamat ulang tahun ya Kak..
Aku kaget ketika membaca kalimat itu di ponselku. Aku melirik jam dinding kamarku. Kedua jarum jam menunjuk ke angka dua belas menandakan tengah malam. Dan aku baru ingat hari ini adalah hari ulang tahunku. Dan kau tahu siapa yang mengirim SMS tadi?
Fiana.
Ini kali pertamanya seseorang mengucapkan selamat ulang tahun saat tengah malam kepadaku. Dan orangnya adalah Fiana, bukan orangtuaku ataupun orang yang aku sukai saat ini. Aku pun mulai mengetik kalimat di ponselku.
Wah, niat banget kamu.. Tapi, makasih ya 
Sejenak aku menunggu Fiana membalasnya. Tapi ponselku tak kunjung bunyi. Mungkin dia sudah tidur. Aku pun kembali ke tempat tidurku dengan kedua tangan menyilang di bawah kepalaku sambil menatap langit-langit kamar. Entah kenapa, rasanya ingin terus tersenyum.
Kenapa jadi tidak bisa tidur begini?
***

Continue reading White Grey (Part 3)