Category Archives: story

Schadenfreude : Emerging Pleasure from Pain

These days, I felt like the world is getting darker.

Frankly, I still consider myself as a positivist person who likes to see things from the bright side. As my profession demands me to persist my habit, it becomes  my trait and way of thinking in perceiving life. Yet, this mindset that I considered nice revealed another hard truth I learned.

Apparently, this mindset sucks. Well, in certain ways.

As I became more sensible and aware of people’s perception, I can see those who are genuine or some are being nice only because they had to. It’s not that I’m a sincere person who can scan people’s sincerity in everything. I just became more aware that people are playing their masks strategically. That strategically.

I used to perceive that most of people around me are supportive and encouraging of what I’m doing and pursuing. Yes, people’s perception towards me matters since I have this strange inferiority complex. I used to be THAT innocent. I thought my parents are supporting me in terms of my career, or my friends respecting me of being a teacher instead of having a super-high salary job, or my coworkers encouraging me to win a competition. Nonetheless, they  don’t. Continue reading Schadenfreude : Emerging Pleasure from Pain

Adulting: A Quarter Life Perks

You felt like you’re still 17, but suddenly you graduated school, employed, and 20ish feels like old. More stress, more tasks, more responsibility, more things to be done. I’ve never imagined that growing up can be this so fast. Suddenly my childhood friends are getting married or already have one or two kids. Many things shock me a lot these days. I felt like my timeline is getting slow, but then I realized that we’ve never been each other timeline. Just like what my senior said during college, “Everyone has their own time frame.”

But, yea, adulting has never been easy for anyone, including me.

Adulting is?

Quoting Urban Dictionary, adulting is “Post adolescence when the light in your eyes fade away and dies.” WELL THAT’S KINDA TRUE. For me adulting is more like you-are-too-old-to-ask-for-money-or-any-financial support-to-your-family phase. Or like.. decision-making-now-becomes-hard phase. Or.. reconsidering-my-beginning-career-path phase.

There are bunch of definitions out there you can find. You also can define your own adulting definition. But I decide I define what is adulting to myself: dealing with real life.

Adulting Signals (that I learned)

Recently, many things struck me, then I realized that life has just begun. I mean.. like real life. As simple as I must take care my own tax. That’s kinda huge in the beginning. As life post-graduation begins, here are some moments signaling that the shallow-fun-easy-college-life really ends:

  • Friendship Revelations

Making friends becomes a little bit difficult after college. Not all our co-workers can become our friends eventually. I realized that my circle is getting smaller and smaller during 6 months after graduation. However, I become more aware of many types of people, especially in choosing my roles as a person. Somehow, I get to know myself deeper because I didn’t know how to differentiate my behavior to different people. Although I know my circle is getting smaller, I don’t feel small at all. In fact, this small circle that I have is the most true person in my life who support me and accept who I am. I mean, it’s better to have valuable small circle rather than having large but toxic people, isn’t it?

  • Everything Feels So Complex

Continue reading Adulting: A Quarter Life Perks

“Betah di Jakarta?”

“Betah di sana?”

“Gimana? Betah di Jakarta?”

Setiap ditanya begitu aku selalu punya dua jawaban, “Bukan di Jakarta, tapi di Depok.” atau “Ya..betah gak betah.”

Pernah ingin menjawab “Betah, kok.” atau “Lumayan, di sana enak.” Tapi pada akhirnya aku tidak pernah mengatakan hal itu. Karena jawaban itu tidak sepenuhnya benar.

Well, terkadang aku merasa hidup sendirian itu menyenangkan. Punya me time sepanjang waktu, tidak di interupsi oleh adik atau orangtua.  Waktu yang kita habiskan adalah untuk diri kita sendiri. Walaupun, tentu saja kangen rumah.

Aku merasa beruntung bisa hidup sendiri setelah aku menduduki bangku kuliah. Menurutku, itu pengalaman tersendiri dibandingkan dengan hidup di rumah orangtua sendiri.

Disini memang cuture shock tak terelakkan bagi para pendatang. Aku pun mengalami hal-hal seperti itu. Untungnya, masih bisa aku atasi sedikit-sedikit. Ini adalah bagian “spesial” yang tidak kita alami di rumah kita sendiri. Merasakan teman kos yang menyebalkan, pergaulan baru yang bebas, selalu memikirkan “Besok, mau makan apa ya?” Ini semua tentu saja tidak mudah.

Untuk itu, tinggal sendirian ternyata tidak selamanya menyenangkan. Harus ada saat dimana kita merindukan rumah dan orang-orang spesial di kampung halaman. Harus ada perasaan bahwa rumah adalah tempat kita untuk pulang dan tidak layak untuk dilupakan. Rumah adalah pintu yang selalu terbuka. Menunggu setia ketika kita mengembara. Rumah adalah harta warisan jiwa. Rumah. Siapapun yang ada di dalamnya telah membentuk kita. Merangkai hidup kita sampai kita berada di tanah yang tak dikenal.

Pulanglah ke rumah.

Maka dari itu aku punya alasan ubtuk menjawab pertanyaan di atas dengan 2 kemungkinan jawaban tersebut. Dengan menjawab seperti itu, aku ingin mengatakan kepada diriku sendiri “Jangan lupakan Rumah.” secara tidak langsung.

Yang Pernah Mati

Tulisanku pernah mati. Seiring dengan jiwa menulisku yang mati. Mati suri bertahun-bertahun. Tak ada satu huruf pun yang keluar untuk kisah ini. Kisah klasik klise yang mainstream, tentang cinta dan keluarga. Berlatarkan satu kota yang tak pernah ku kunjungi. Tidakkah itu naif?

Aku tidak mengerti. Mengapa aku pernah semalas itu. Mematikan tulisanku sendiri. Sendu rasanya. Dikala orang lain sudah menerbitkan lusinan buku dan cerita ke media. Tak satupun dariku yang tercetak. Hanya terperam di ruang-ruang kosong kamarku. Tak terhiraukan. Aku sempat berkhayal jika karyaku bisa berbicara apa yang mereka katakan kepadaku. Mungkin yang ada hanya makian.

Sampai saat ini aku merasakan hal itu. Perasaan malas yang kerap menyelusup dalam diri yang ditularkan oleh syaitan sialan itu. Aku merasa tak punya nyali. Terlalu banyak pertimbangan dan rasa takut. Bahkan seharusnya menulis tidak begitu. Menulis datangnya dari hati dan tidak usah memikirkan yang lain hakikatnya. Tapi aku keluar dari jalan, tersesat mencari sesuatu yang tidak perlu dicari sebenarnya.

Diriku sendiri.

Setiap aku berjalan, aku merasa langkahku goyah dan pandanganku kabur. Mencari-cari sosok yang bisa mendorongku untuk menulis lagi. Hal yang konyol dan mustahil untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Bagaimana bisa waktu itu aku mencari oranglain di saat aku belum menemukan diriku sendiri?

Ada hubungan aneh antara aku dan suatu abstraksi yang bernama menulis. Aku tidak bisa mendeskripsikannya, tapi ada hubungan cinta-benci antara kami. Terkadang, ia berdamai denganku kadang ia tidak. Ia tidak mau aku ajak kompromi dan memilih diam tak acuh.

Aku sadar. Aku harus segera berdamai dengan diriku sendiri. Melawan rasa takut. Menepisnya jauh-jauh dan mulai berjuang lagi. Berjuang untuk meraih inspirasi, dan alasanku untuk menulis.

Paradoksial Hidup (Dialog)

X: “Terkadang kita hanya membutuhkan diri kita sendiri untuk hidup.”

Y: (Sedang minum, lalu tersedak) “Kau bilang apa?”

X: “Terkadang kita hanya membutuhkan diri kita sendiri untuk hidup.”

Y: “Kau ini mahkluk anti-sosial ya!”

X: (menggeleng)  “Bukan begitu. Kau akan merasakannya nanti, ketika….”

Y: “Ketika?”

X: “Ketika semua orang di sekitarmu mengkhianatimu. Bahkan, orangtuamu sendiri.”

Y: “Menurutku tidak, ya, walaupun kenyataan pahit kita pasti membutuhkan mereka. Atau kelak, kitabakan menbutuhlan orang lain juga.  Kau hanya terlalu berlebihan.”

X: …

***

5 Tahun kemudian mereka bertemu lagi.

Y: ” Kau benar.”

X: ” Maksudmu?”

Y: ” Apa yang dikatakan olehmu lima tahun lalu. Itu benar.”

X: (mengeritkan dahi,  mencoba mengingat)

Y: ” Dua tahun terakhir hidupku kacau. Kekasihku sendiri teganya berselingkuh dengan sahabatku sendiri, aku dicurangi di pekerjaanku, bahkan orangtuaku sendiri.. ah, sudahlah. Intinya.. aku merasakan apa yang kau katakan dahulu, Bung. Aku memang hanya membutuhkan diriku sendiri.”

X: (mengingat, lalu tersenyum kecut) “Justru perkataanku salah.”

Y: (menggeryit) “Tidak, Bung, itu benar!”

X: (menggeleng) “Awalnya, aku merasa terpuruk. Kacau sekaligus tidak percaya. Tapi setelah kau bilang dahulu bahwa kita akan membutuhkan oranglain juga, aku mulai percaya. Aku percaya pada hidupku dan aku percaya kepada orangtuaku lagi. Dan setelah itu, percayalah, semua akan baik-baik saja.”

Y: “Terimakasih, Bung. Aku harap bisa sepertimu”

X: “Tidak, akulah yang berterimakasih.”

Malam di Hari Ini

Sejenak saja aku ingin menikmati malam ini dengan tenang
Sang dewi yang mempesona tergantung elok di angkasa dimana segala asa manusia ada di sana
Malam ini akan kuhabiskan telak
Berbaring diatas beledu, menelisik malam

Seketika kau berdiri di hadapanku
Matamu berkilat, tapi katup dibawah hidungmu itu bergetar
Ada apa denganmu?

Kau mencoba meraih tanganku
Sebersit ku bermonolog dalam senyap, mengapa tanganku menepis punyamu?
Sebuah reflek gerik tak di pahami
Menguraikan berantai-rantai tanda tanya dalam benakmu

Kusimpan lisanku dalam hati, aku pun tak memahami
Arti dari sekardus memoar yang tersingkap mati

Malam sedang berdebat tentang diri sepasang manusia
Lalu seketika keduanya pergi, menempuh langkah yang seharusnya tidak terbagi

Gadis dengan Paradoks dan Kode Morse

Ketika pertanyaan yang sudah lalu telah terjawab, mengapa harus  ada lagi pertanyaan lain?

Gadis itu kembali menopang dahinya dengan tangan kiri.  Astaga..kapan hal ini akan selesai? Apa-apaan. Apa-apaan semua ini? Seenaknya saja mengintervensi. Mengintimidasi. Apakah ia takut sekarang? Tentu saja tidak. Ia masih mempunyai keberanian untuk mewujudkan mimpi. Dan tentu saja untuk mengemudikan kapal baru yang tengah ia nahkodai saat ini.

Ia tidak mengerti. Masih tidak mengerti dengan paradoks yang satu itu. Sulit rasanya untuk menemukan jalur di dalamnya. Ia kembali menghela napas. Membiarkan semua dalam kotak memorinya menyeruak melepas segala asa di benak. Menyusun lagi drama yang pernah hilang, kepingan momen, dan kembali lagi pada satu titik pusatnya.

Seperti yang disebut orang itu kepadanya dua hari yang lalu. Ada perasaan lega. Tapi mengapa seketika hal itu rusak? Kenapa perasaan lega itu sirna ketika ia menemukan sebuah pesan bak kode motrse ditempat yang tak terduga?

Kenapa seketika ada butiran kristal di matanya?

MENEMUKANMU #2

Kali ini.. dengan ide Giya yang cukup gila itu Gadha terpaksa melakukannya. Ya, ia sekarang berada di Kampus dimana Giya kuliah. Dan.. Giya berjanji akan menunjukan orang yang bernama Fania Fitria Maria. Orang selalu dicari Gadha sejak kelas 3 SMP.

Fania waktu itu menjabat sebagai ketua murid dikelas. Ghada yang saat itu pendiam dan tidak peduli pada kegiatan-kegiatan kelas yang menurutnya tidak penting selalu saja menyendiri. Sampai saat..
“Binarta,”
Continue reading MENEMUKANMU #2

Gadis yang Ditemani Sang Venus

Gadis itu kini menyepi. Duduk di sudut ranjangnya, memeluk lututnya erat-erat. Tak pedulikan rasa sesak di dadanya yang kian menjadi-jadi. Ia hanya menangis. Karena ia memang perlu menangis, begitu katanya.

Kini rasa sesak di dadanya tertutupi oleh rasa sakit di ulu hatinya. Astaga.. apakah ia tidak cukup kuat untuk menghadapi semuanya ataukah justru ia terlalu kuat dan akhirnya melampaui batas?
Continue reading Gadis yang Ditemani Sang Venus