“Betah di Jakarta?”

“Betah di sana?”

“Gimana? Betah di Jakarta?”

Setiap ditanya begitu aku selalu punya dua jawaban, “Bukan di Jakarta, tapi di Depok.” atau “Ya..betah gak betah.”

Pernah ingin menjawab “Betah, kok.” atau “Lumayan, di sana enak.” Tapi pada akhirnya aku tidak pernah mengatakan hal itu. Karena jawaban itu tidak sepenuhnya benar.

Well, terkadang aku merasa hidup sendirian itu menyenangkan. Punya me time sepanjang waktu, tidak di interupsi oleh adik atau orangtua.  Waktu yang kita habiskan adalah untuk diri kita sendiri. Walaupun, tentu saja kangen rumah.

Aku merasa beruntung bisa hidup sendiri setelah aku menduduki bangku kuliah. Menurutku, itu pengalaman tersendiri dibandingkan dengan hidup di rumah orangtua sendiri.

Disini memang cuture shock tak terelakkan bagi para pendatang. Aku pun mengalami hal-hal seperti itu. Untungnya, masih bisa aku atasi sedikit-sedikit. Ini adalah bagian “spesial” yang tidak kita alami di rumah kita sendiri. Merasakan teman kos yang menyebalkan, pergaulan baru yang bebas, selalu memikirkan “Besok, mau makan apa ya?” Ini semua tentu saja tidak mudah.

Untuk itu, tinggal sendirian ternyata tidak selamanya menyenangkan. Harus ada saat dimana kita merindukan rumah dan orang-orang spesial di kampung halaman. Harus ada perasaan bahwa rumah adalah tempat kita untuk pulang dan tidak layak untuk dilupakan. Rumah adalah pintu yang selalu terbuka. Menunggu setia ketika kita mengembara. Rumah adalah harta warisan jiwa. Rumah. Siapapun yang ada di dalamnya telah membentuk kita. Merangkai hidup kita sampai kita berada di tanah yang tak dikenal.

Pulanglah ke rumah.

Maka dari itu aku punya alasan ubtuk menjawab pertanyaan di atas dengan 2 kemungkinan jawaban tersebut. Dengan menjawab seperti itu, aku ingin mengatakan kepada diriku sendiri “Jangan lupakan Rumah.” secara tidak langsung.

Leave a comment