Hari ini aku dicaci, beberapa penit kemudian ku dipuji.
Ah, manusia. Hanya seonggok daging penuh persepsi.
Tidak usah didengar serius sekali.
Hari ini aku dicaci, beberapa penit kemudian ku dipuji.
Ah, manusia. Hanya seonggok daging penuh persepsi.
Tidak usah didengar serius sekali.
Aku ingin pergi menuju awan
Disela-sela langit bertabur hujan
Namun..
Fantasi selalu kontra dengan realita
Aku ingin berjalan melewati jalan itu, diiringi hembusan angin
Ditemani olehmu yang berceloteh ria
Namun..
Ku bertanya-tanya, fantasikah itu?
Sehabis hujan, aku selalu menemukan sisi berbeda pada dunia.
Segalanya terasa syahdu, tenang walaupun ramai. Oksimoron tak tertahankan dalam benak.
Pikirku berlabuh pada daun-daun basah yang merunduk-runduk. Mataku pejam menikmati hujan sore yang merintik lembut.
Ada rintik di wajahku. Seperti tangis yang terselubung, ketika ku mendongak pada langit.
Hujan atau apalah kau molekul air diwajahku. Suatu saat, akan ada terang yang menanti esok hari.
Suatu saat.
Terkadang kita hanya butuh menangis. Hanya karena kita butuh bukan ingin
Ada saatnya dikala aku berpikir “Seandainya..”
Terkadang aku memikirkan bercerita denganmu lagi tentang segala perubahan yang telah ku alami.
Namun, kita sudah menemukan jalan masing-masing. Benang yang dulu mengaitkan kita sudah hilang diterpa hembusan waktu yang kian lama kian tangguh.
Disaat ingin menyapa, berbincang, aku takut apa yang akan mereka katakan bila kita bersama.
Pada akhirnya..aku hanya bisa diam. Memerhatikanmu dari kejauhan.